Bahagia yang sederhana?
Bagaimana bahagia yang sederhana versi saya?
Oke, saya akan bercerita lumayan panjang. Maaf kalau nanti 'eneg' bacanya hehehe.
Sejak Februari lalu, saya mempunyai aktivitas baru. Saya ngajar di salah satu kampus swasta di Surabaya. Kalau dipikir-pikir, dulu saya punya harapan kalau ngajar saya pingin ngajar di tempat yang bersih (yang punya standard kayak bank atau perkantoran), terus bisa pake outfit yang seperti pekerjaan saya yang dahulu (pake baju rapi, tapi ujung-ujungnya sampai di titik ini saya nggak mood lagi pakai baju berblazer huhu). Daaan, taraa, saya sekarang kerja ditempat yang pernah saya imajinasikan. Allah baik banget ya, menjawab harapan saya.
Semester pertama berjalan, saya merasa oke-oke saja. Menginjak semester kedua. Saya mendapat jam ngajar lumayan banyak. Kuliah aja maksimal 24 sks lho. Lha ini saya dapat ngajar 12 kelas dengan 8 mata kuliah yang berbeda (dengan bobot masing-masing 3 sks).
Hari-hari disemester kedua ini bisa dikatakan semester penuh perjuangan. Dosen juga manusia. Menyiapkan materi, belajar latihan soal, ngasih tugas ke mahasiswa, mengoreksi tugas mahasiswa, penelitian yang nggak kelar-kelar, apalagi pengabdian masyarakat. Tiap hari saya cuma berdo'a diberikan kesehatan. Ternyata saya lupa, saya nggak spesifik minta do'a kesehatan jiwa dan raga. Secara fisik saya sehat, tetapi akhir-akhir ini saya sering ketakutan. Ditambah waktu itu ada satu masalah yang menguras hati (yang membuat saya nggak bisa tidur sampe jam 01.00 dini hari, padahal besoknya harus ngajar). *maaf kalau berlebihan dalam mendeskripsikan*
Serius, saya jadi ingat dengan beberapa blog yang saya baca, jangan-jangan saya depresi. Saya mulai browsing cari psikiater atau psikolog, meskipun sampai sekarang belum terealisasi untuk mendatangi mereka. Do'a saya yang lain adalah semester ini segera berlalu.
Saya sadar ada yang salah dengan diri saya. Saya mencoba menghibur diri sendiri dengan cara sering-sering istighfar kalau 'dementor' mulai datang. Saya juga berusaha merutinkan lagi membaca Al-Qur'an. Kemudian mencari tulisan-tulisan yang saya anggap bisa menghangatkan hati. Alhamdulillah, ada efeknya. Saya mulai bersemangat lagi. Apalagi ada break 2 minggu karena mahasiswa sedang UTS.
Sekitar 2 minggu yang lalu, tiba-tiba saja saya diajak kaprodi untuk talkshow di radio. Talkshow ini bisa dianggap sebagai pengabdian masyarakat. Fyi, tugas dosen nggak hanya ngajar, tetapi ada juga kewajiban penelitian dan pengabdian masyarakat. Semester ini saya udah hopeless, nggak akan bisa melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Allah super baik, melalui perantara-Nya saya diberikan kesempatan untuk talkshow di radio.
Setelah saya pikir, dementor-dementor dalam pikiran ini yang harus segera dibasmi, yaitu dengan mencari kebahagian versi saya sendiri. PR buat saya adalah untuk berhenti membanding-bandingkan dengan kebahagiaan orang lain dan nggak seharusnya saya overthinking.
Beberapa waktu yang lalu, ada mahasiswa mendatangi saya untuk menanyakan apakah saya bersedia menjadi dosen pembimbing PKM mereka? Why not? Saya menyanggupi. Kemudian, ada lagi mahasiwa yang pernah saya ajar di semester lalu, menghubungi saya dan meminta saya untuk menjelaskan suatu materi karena dia akan mengasistensi para maba. Serius, cuma gitu aja membuat saya bahagia. Saya merasa berguna :"
Tidak berhenti sampai situ, mahasiswa yang saya bimbing memberi kabar kalau timnya lolos di seleksi internal. Ya, baru lolos saja lho di tahap internal. Kabar ini membuat saya bahagia.
Tulisan ini sepertinya tulisan pertama saya disini yang sangat sentimentil.
Kalau bukan karena kasih sayang gusti Allah, saya juga nggak tahu saya jadi apa sejauh ini :')
Tulisan ini saya buat karena saya ingat dengan tulisan tentang Being Vulnerable
Bahagia yang sederhana versi saya sudah saya ceritakan, bagaimana dengan versimu?
Bagaimana bahagia yang sederhana versi saya?
Oke, saya akan bercerita lumayan panjang. Maaf kalau nanti 'eneg' bacanya hehehe.
Sejak Februari lalu, saya mempunyai aktivitas baru. Saya ngajar di salah satu kampus swasta di Surabaya. Kalau dipikir-pikir, dulu saya punya harapan kalau ngajar saya pingin ngajar di tempat yang bersih (yang punya standard kayak bank atau perkantoran), terus bisa pake outfit yang seperti pekerjaan saya yang dahulu (pake baju rapi, tapi ujung-ujungnya sampai di titik ini saya nggak mood lagi pakai baju berblazer huhu). Daaan, taraa, saya sekarang kerja ditempat yang pernah saya imajinasikan. Allah baik banget ya, menjawab harapan saya.
Semester pertama berjalan, saya merasa oke-oke saja. Menginjak semester kedua. Saya mendapat jam ngajar lumayan banyak. Kuliah aja maksimal 24 sks lho. Lha ini saya dapat ngajar 12 kelas dengan 8 mata kuliah yang berbeda (dengan bobot masing-masing 3 sks).
Hari-hari disemester kedua ini bisa dikatakan semester penuh perjuangan. Dosen juga manusia. Menyiapkan materi, belajar latihan soal, ngasih tugas ke mahasiswa, mengoreksi tugas mahasiswa, penelitian yang nggak kelar-kelar, apalagi pengabdian masyarakat. Tiap hari saya cuma berdo'a diberikan kesehatan. Ternyata saya lupa, saya nggak spesifik minta do'a kesehatan jiwa dan raga. Secara fisik saya sehat, tetapi akhir-akhir ini saya sering ketakutan. Ditambah waktu itu ada satu masalah yang menguras hati (yang membuat saya nggak bisa tidur sampe jam 01.00 dini hari, padahal besoknya harus ngajar). *maaf kalau berlebihan dalam mendeskripsikan*
Serius, saya jadi ingat dengan beberapa blog yang saya baca, jangan-jangan saya depresi. Saya mulai browsing cari psikiater atau psikolog, meskipun sampai sekarang belum terealisasi untuk mendatangi mereka. Do'a saya yang lain adalah semester ini segera berlalu.
Saya sadar ada yang salah dengan diri saya. Saya mencoba menghibur diri sendiri dengan cara sering-sering istighfar kalau 'dementor' mulai datang. Saya juga berusaha merutinkan lagi membaca Al-Qur'an. Kemudian mencari tulisan-tulisan yang saya anggap bisa menghangatkan hati. Alhamdulillah, ada efeknya. Saya mulai bersemangat lagi. Apalagi ada break 2 minggu karena mahasiswa sedang UTS.
Sekitar 2 minggu yang lalu, tiba-tiba saja saya diajak kaprodi untuk talkshow di radio. Talkshow ini bisa dianggap sebagai pengabdian masyarakat. Fyi, tugas dosen nggak hanya ngajar, tetapi ada juga kewajiban penelitian dan pengabdian masyarakat. Semester ini saya udah hopeless, nggak akan bisa melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Allah super baik, melalui perantara-Nya saya diberikan kesempatan untuk talkshow di radio.
Setelah saya pikir, dementor-dementor dalam pikiran ini yang harus segera dibasmi, yaitu dengan mencari kebahagian versi saya sendiri. PR buat saya adalah untuk berhenti membanding-bandingkan dengan kebahagiaan orang lain dan nggak seharusnya saya overthinking.
Beberapa waktu yang lalu, ada mahasiswa mendatangi saya untuk menanyakan apakah saya bersedia menjadi dosen pembimbing PKM mereka? Why not? Saya menyanggupi. Kemudian, ada lagi mahasiwa yang pernah saya ajar di semester lalu, menghubungi saya dan meminta saya untuk menjelaskan suatu materi karena dia akan mengasistensi para maba. Serius, cuma gitu aja membuat saya bahagia. Saya merasa berguna :"
Tidak berhenti sampai situ, mahasiswa yang saya bimbing memberi kabar kalau timnya lolos di seleksi internal. Ya, baru lolos saja lho di tahap internal. Kabar ini membuat saya bahagia.
Tulisan ini sepertinya tulisan pertama saya disini yang sangat sentimentil.
Kalau bukan karena kasih sayang gusti Allah, saya juga nggak tahu saya jadi apa sejauh ini :')
Tulisan ini saya buat karena saya ingat dengan tulisan tentang Being Vulnerable
Bahagia yang sederhana versi saya sudah saya ceritakan, bagaimana dengan versimu?
Comments
Post a Comment