Beberapa saat yang lalu saya melihat beberapa event untuk call for paper. Pingin banget deh mengirimkan paper, tapi lagi nggak mood banget penelitian (aneh ya)
Lalu saya jadi ingat topik riset tesis saya. Proposal saya untuk mendaftar magister berlalu begitu saja, saya malah mengambil topik tentang sumber daya insani/manusia untuk menjadi topik tesis yang sebenarnya. Topik tersebut memang nggak nyambung-nyambung amat dengan konsentrasi yang saya ambil yaitu perbankan syariah, yang seharusnya lebih mengangkat topik keuangan perbankan. Tapi saya lebih tergelitik pada topik sumber daya insani perbankan syariah.
Alasan saya tergelitik dengan topik tersebut karena saya pernah kerja di bank. Saya sempat pindah cabang sehingga merasakan bagaimana perbedaan dipimpin oleh beberapa orang. Kepemimpinan dapat memengaruhi kepuasan kerja, komitmen, dan loyalitas karyawannya. Menurut teorinya begitu, gaes. Nyatanya? Bagi saya sih, iya banget. Gimana saya mau semangat kerja kalau pimpinan saya ngomel mulu tanpa memberikan solusi atau ngomong yang ndakik (tinggi), tapi nyatanya beliau tidak mempraktikkannya. Kezel.
Kerja di bank dari pagi sebelum jam 08.00 hingga lebih dari jam 17.00, bisa diartikan kantor seperti rumah kedua. Orang yang ditemui yaa itu-itu saja (kecuali bagian lapangan/marketing). Nah, kalau yang ditemui itu-itu saja tetapi malah membuat kita nggak puas dengan pekerjaan, itu menjadi permasalahan tersendiri.
Kemudian, saat saya bekerja, lagi-lagi saya tergelitik dengan perilaku manusia, lebih tepatnya perilaku konsumen. Topik riset saya tentang apakah halal knowledge, religiusitas, dan attitude berpengaruh terhadap perilaku konsumen muslim generasi Y yang membeli kosmetik halal.
Mengapa generasi Y? Berangkat dari diri saya sendiri. Saya termasuk dalam generasi Y dimana dalam membeli sesuatu lebih suka melihat review nya dulu dari orang lain. Atau kadang membuat pembelian impulsive :(
Apalagi dalam pembelian kosmetik ataupun skincare. Kerapkali saya membeli karena rekomendasi teman atau gara-gara nonton drama korea lalu saya tertarik ingin membeli. Apalagi didukung oleh review beauty blogger/vlogger yang sangat meyakinkan. Kadang saya juga lupa memerhatikan apakah berlabel halal atau tidak. Yang penting tidak mengandung alkohol (dari industri makanan/minuman), tidak mengandung babi dan turunannya, tidak dites pada hewan, bagi saya sudah cukup, langsung cus beli.
Padahal sesuatu yang berlabel halal, tentunya tidak hanya materialnya saja yang halal, tetapi lebih dari itu yaitu apakah proses pembuatan, pendistribusian, dan pemasarannya sudah menggunakan cara yang halal atau belum. Nah, ini yang terkadang belum diperhatikan oleh konsumen (termasuk saya sendiri). Padahal jika menyangkut dengan makanan atau minuman, konsumen akan lebih aware apakah benar-benar halal. Misalnya ada burger, maka perlu diidentifikasi apakah daging yang digunakan tidak mengandung daging babi. Namun, sebagai generasi Y seharusnya lebih jauh lagi risetnya, yaitu apakah mentega atau minyak yang digunakan juga tidak mengandung daging babi atau arak. Lebih hebat lagi hingga riset apakah sapi yang disembelih (daging sapi) sudah menggunakan cara Islam atau belum. Rasa-rasanya saya belum sampai tahapan tersebut.
Begitu juga dengan aspek lainnya, misalnya kosmetik halal. Konsumen juga perlu mengecek seperti ketika akan membeli makanan tertentu. Hasil riset saya sih konsumen di Surabaya dalam melakukan pembelian kosmetik halal tidak dipengaruhi oleh halal knowledge dan religiusitasnya. Tapi ada hal lain yang membuat mereka membeli kosmetik halal, yaitu adanya pengaruh sosial. Salah satu ciri dari generasi Y dalam membuat keputusan pembelian yaitu mereka akan sangat memerhatikan ulasan dari influencer atau teman mereka.
Kembali ke paragraf pertama saya. Saya lagi pingin ikut call for paper, tapi nggak mood ngeriset. Pemalas kali nih aing :(
Lebih tepatnya sih saya males baca aja kali ya, jadi belum nemu topik penelitian yang bikin saya tergelitik.
Comments
Post a Comment