Sudah menginjak bulan kedua di tahun 2018.
Akun media sosial yang saya deactivate saat ini yaitu akun instagram dan facebook. Akun twitter masih saya pertahankan, karena twitter tempat 'nyampah'.
Ada yang perlu saya ingat (bahkan untuk di masa depan), bahwa sepanjang 2017 hingga awal tahun 2018 telah terjadi beberapa peristiwa di kehidupan saya, kata psikolog, peristiwa yang saya alami adalah 'hal-hal pertama' yang baru saya hadapi dan too much buat saya.
Ya, akhirnya saya ke psikolog untuk konseling. Pernah saya singgung di postingan sebelumnya bahwa saya berencana mendatangi psikolog atau psikiater.
Mungkin nanti saya akan menceritakan disini hasil konseling tersebut (mudah-mudahan ndak males nulis)☺
Maaf, intronya panjang.
sumber gambar |
Bahkan saya sempat berencana sekalian deactivate beberapa akun messanger. Pertimbangannya adalah saya masih bisa dihubungi melalui sms, email, atau telepon. Saya sadar udah nggak jaman banget komunikasi bentuk beginian. Mohon maklum, saya masih lumayan vintage pada era fintech.
Tenang, hal tersebut nggak terjadi kok, saya nggak sampai segitunya sampai deactivate akun messanger. Tapi saya sempat menonaktifkan sambungan wifi atau mematikan saluran internet dari paket data untuk beberapa jam, sengaja tidak segera mengisi ulang paket data internet yang sudah habis, dan mematikan handphone untuk beberapa jam. Hal tersebut saya lakukan demi mengurangi kebiasaan-kebiasaan tertentu.
Memangnya saya sengaja ngilang gitu biar dicari? Siapa juga yang nyari saya?
(Eh, ada kok yang nyari saya, para anak wali yang mau ambil KHS~ HAHAHA)
Jawabannya nggak juga, bukan sengaja ngilang.
Jadi kenapa saya deactivate akun media sosial? Dunia nggak pingin tau juga sih alasan saya (ciyaan). Saya aja yang pingin cerita ke dunia.
Pertama, saya sedang merasa 'left behind'.
Kedua, saya sedang ingin berdamai dengan diri sendiri.
Ketiga, saya ingin menutup mata dari akun-akun online shop.
Keempat, ada alasan klise yang malu-maluin sebenarnya :p
Pertama, left behind.
Suatu saat dahulu, saya pernah merasa masih disini-sini aja dan gini-gini aja, sedangkan orang lain udah kesana kemari, ada perubahan di kehidupan mereka. Tapi, saat itu saya sukses 'menghibur' dan meyakinkan diri saya sendiri agar tidak berlarut-larut. Kali ini kambuh lagi deh perasaan left behind. Dampaknya saya ogah ngapa-ngapain. Ibarat masakan, rasanya hambar. Dampak positifnya sejauh ini (maaf saya nggak maksud pamer), saya merasakan kenikmatan beribadah. Saya pernah berfikir, dosa saya banyak banget kali ya, jadi ini adalah teguran Allah. Disaat senang saya lupa bersyukur, giliran sedang sedih, nangis-nangis ke Allah. Siapa lagi yang mau dengerin semua detail curahan hati kalau bukan Engkau yang Maha Baik Ya Allah :')
Kedua, saya ingin berdamai dengan diri sendiri
Masih berhubungan dengan alasan yang pertama, saya merasa left behind. Karena hal tersebut, saya nggak ingin tahu keadaan orang lain disana yang bisa saya lihat secara virtual. Saya lagi nggak ingin tahu sejauh mana si A melangkah, si B sudah punya anak berapa, si C sudah liburan kemana saja, si D naik jabatan, si E sudah move on dari mantannya, si F sudah hijrah, si G sudah mulai menyiapkan studi lanjut, dan lainnya. Bukan berati saya iri dengan mereka, tapi saya sedang tidak ingin tahu. Saya ingin fokus menikmati apa yang ada di sekitar saya.
Saya bisa saja unfollow mereka, tapi ya kali saya yang bermasalah dengan diri sendiri, kok ya pakai acara unfollow mereka segala. Lebih baik saya deactivate akun media sosial yang saya miliki.
Saya bisa saja unfollow mereka, tapi ya kali saya yang bermasalah dengan diri sendiri, kok ya pakai acara unfollow mereka segala. Lebih baik saya deactivate akun media sosial yang saya miliki.
Satu hal yang bikin gagal sih, saya jadi admin akun instagram prodi dan saya lupa password-nya :(
Mau nggak mau masih berkecimpung juga di instagram karena akun tersebut login di handphone saya.
Bicara tentang berdamai dengan diri sendiri, saya baru saja menemukan akun di twitter yang empunya ahli terkait mindfullness. Pada intinya, mindfullness berarti fokus pada kondisi kita saat ini. Menikmati dan mensyukuri apa yang di depan mata saat ini. Tidak harus dengan buru-buru melakukan target ini itu. Tidak terbebani dengan to do list apa saja untuk satu jam berikutnya, esok hari, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Tidak harus sama dengan kondisi orang lain karena setiap manusia mempunyai fase kehidupan yang dicapai dengan cara dan waktu yang berbeda-beda. Ya, ini sangat sesuai dengan kondisi saya sekarang. Saya sedang dalam kondisi 'lelah' memikirkan apa-apa yang belum terjadi dan masih larut pada peristiwa yang sudah terjadi, sehingga saya lupa menikmati apa yang ada dihadapan saya saat ini.
Mindfullness juga berarti saya harus menerima, merelakan, memaafkan, dan mengikhlaskan apa-apa yang tidak bisa saya capai ataupun miliki. Bukan berarti saya sudah nggak ada lagi harapan atau 'gairah' untuk mendapatkan, mencapai, atau memilikinya. Tapi yang saya butuhkan saat ini yaitu kedamaian. Berdamai dengan diri sendiri. Tidak menyalahkan orang lain ataupun diri sendiri. Menerima bahwa memang ada hal yang tidak bisa saya kendalikan dan selalu berpikiran positif dari apapun yang sudah terjadi. Saya tidak bisa memaksa untuk beberapa hal bisa berjalan sesuai harapan saya. Seperti ceramah yang sempat saya dengarkan dari youtube, bahwa tugas kita sebagai manusia setelah berusaha adalah menerima hal-hal yang memang hanya Allah yang bisa mengaturnya. Biarkan Allah yang membereskan setelahnya. Dengan menerima, merelakan, memaafkan, dan mengikhlaskan berarti kita memberi ruang akan datangnya kesempatan-kesempatan baru yang akan diberikan Allah. Nampaknya saya gampang banget mengatakannya, tapi nyatanya enggak. Saya juga masih di tahap belajar, dimana kadang mood juga masih naik turun. Nah, dengan deactivate akun media sosial ini, saya berharap saya bisa melatih diri ini untuk mindfullness ini. Selain deactivate akun media sosial, saya jadi senang membaca buku psikologi. Buku yang sedang saya baca berjudul 'Sejenak Hening' dan 'Pemulihan Jiwa'. Kedua buku tersebut sangat membantu saya untuk berdamai dengan diri sendiri.
Ketiga, menghindari belanja di online shop.
Sebenarnya ini hanya alibi belaka karena saya masih sering belanja online juga kok. Apalagi ada shopee yang promo free ongkir diperpanjang terus, mbuh sampai kapan. Sungguh kegiatan belanja online ini masih susah diturunkan frekuensinya.
___________________________________________________________________________
Sejauh ini, hasil dari deactivate kedua akun media sosial tersebut, sudah lumayan membuat saya lebih 'damai'. Saya tidak tahu akan bertahan berapa lama saya akan deactivate akun media sosial. Atau malah bisa jadi deactivate untuk selamanya. Saya tidak harus menunjukkan ke dunia bahwa saya sudah mencapai ini itu, saya sedang bahagia, kehidupan saya sama seperti mereka atau lainnya, melalui foto-foto yang kadang butuh waktu untuk memilih mana yang akan di-post. Hal ini bukan berarti saya membenci orang yang masih berkecimpung didua media sosial tersebut. Saya hanya butuh 'jedah' untuk diri saya sendiri.
Tentang deactivate, hal tersebut juga dilakukan oleh kedua rekan kerja saya. Bahkan saya juga menemukan tulisan menarik yang hampir sama dengan apa yang saya rasakan. Tulisan tersebut bisa di klik disini
Saya menuliskan ini bukan untuk pamer atau sok-sokan, tetapi saya ingin berbagi pengalaman. Paling tidak tulisan ini juga sebagai bentuk reminder bahwa saya pernah berada difase kehidupan seperti ini.
Comments
Post a Comment