Day 19 - How you like to live your life
Himbauan:
Mohon maaf kalau nulisnya loncat ngalur ngidul. Saya lagi ngantuk banget tapi ingat challenge yang hari ini.
Katanya hidup itu nggak perlu lihat rumput tetangga yang hijau. Rumput di halaman sendiri saja dirawat dengan baik sehingga sama-sama hijau. Kalau melihat orang lain terus menerus kapan dong merawat rumput sendiri. Saya pun akhirnya berusaha mengubah mindset bahwa rumput tetangga yang hijau itu motivasi bahwa mereka pun bisa kenapa saya enggak.
Saya menginginkan hidup saya ada artinya. Terkadang saya merasa hidup saya masih begini-begini saja. Belum merasakan 'greget' lagi. Saat lulus sarjana, saya bekerja di luar provinsi (bahkan di luar pulau). Asli, saya sudah merasakan 'greget' saat itu. Saya merasa itu adalah keputusan paling berani yang pernah saya buat. Sebenarnya salah satu hal yang melandasi keputusan saya itu adalah hal sepele (saya malu mau bercerita disini hihi). Alasan lainnya adalah saya merasa monoton. Kehidupan saya tak jauh-jauh seputar Sidoarjo dan Surabaya. Memang saya pernah kos, tetapi setiap seminggu sekali pasti pulang. Kali ini saya mau merasakan sensasi berbeda, yang pada awalnya saya merasa akan baik-baik saja. Kenyataannya saya homesick akut. Bahkan hampir sebulan sekali lho saya pulang. Saya ingat betul saat itu saya belum berorientasi nabung, jadi ongkos pulang saya merasa nggak keberatan. Bahkan kalau bisa saya pulang tiap dua minggu sekali. Karena orang-orang rumah selalu ngomel katanya seharusnya saya menabung uang dari bekerja, saya jadi enggak enak sendiri akhirnya tiap sebulan sekali pulang. Itu pun saya pulang biasanya juga berbarengan dengan acara lain. Meskipun di Mataram saya mempunya bibi, saya memilih untuk nge-kos (biar makin greget). Saat-saat itu lah saya merasa ada 'greget' dalam hidup saya. Bagaimana saya harus memutuskan ini itu dengan cepat.
Saat itu saya juga mempunyai kesempatan untuk jalan-jalan mengeksplorasi wisata disana (meskipun baru dapat sedikit huhu) bahkan ada kesempatan sekali untuk melakukan solo travelling, yang bikin orang-orang kantor nggak percaya saya berani melakukannya. Saat-saat merantau itu lah saya menemukan arti sesungguhnya bahwa keluarga adalah segalanya. Home where the heart is. Saya jadi ingat dengan teman kos (saya seneng banget teman kos ternyata berasal dari Malang dan Yogyakarta) yang pernah berkata, 'dek, kini aku paham kenapa banyak orang rela kerja di kota mereka sendiri meskipun dengan gaji yang lebih kecil dari kerja di luar domisili. Seneng banget ya dek kalau bisa ketemu sama keluarga sepulang kerja'. Lalu saat itu kami jadi sama-sama melankolis haha (kalau ingat itu jadi ketawa sendiri deh).
Saya juga melakukan penyesuaian dengan sekitar yang saya kira saya sempat mengalami shock culture (maaf lebay). Orang-orang Sidoarjo dan Surabaya memang terkenal ngomong kasar dan keras. Tetapi saya melihat orang sana dengan bahasa mereka sendiri saya suka merasa linglung dan kadang berasa suasanya jadi tegang. Padahal memang nada ngomongnya sudah seperti itu.
Saya menginginkan kehidupannya saya sesuai dengan perencanaan yang saya buat *jadi ingat tes epps*
Tunggu dulu, hidup sesuai rencana bukan berarti saya tidak mau ada perubahan dalam hidup. Rencana-rencana itulah yang berisi perubahan. Tapi dalam perjalanannya untuk mengubah nasib ataupun hidup terkadang disitulah bertemu hambatan dan rintangan.
Orang lain boleh berekspektasi apa saja kepada saya, tetapi saya tidak bisa berbuat sesuai yang mereka harapkan apalagi menjanjikan saya akan bisa menjadi apa yang mereka mau. Hal ini tidak termasuk ekspektasi orang tua. Saya teramat sedih ketika tidak bisa (belum bisa) menjadi apa yang mereka harapkan, meskipun mereka sudah membebaskan saya dalam memutuskan segala hal. Saya sadar betul diluar mereka membebaskan anaknya melakukan ini itu, tetapi harapan mereka adalah anaknya menjadi 'orang'.
Pada intinya saya sedang berusaha menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Berusaha jujur dengan diri sendiri, lebih memahami diri, dan tetap menjadi diri sendiri.
Sampai jumpaa *hoaaam*
Himbauan:
Mohon maaf kalau nulisnya loncat ngalur ngidul. Saya lagi ngantuk banget tapi ingat challenge yang hari ini.
Katanya hidup itu nggak perlu lihat rumput tetangga yang hijau. Rumput di halaman sendiri saja dirawat dengan baik sehingga sama-sama hijau. Kalau melihat orang lain terus menerus kapan dong merawat rumput sendiri. Saya pun akhirnya berusaha mengubah mindset bahwa rumput tetangga yang hijau itu motivasi bahwa mereka pun bisa kenapa saya enggak.
Saya menginginkan hidup saya ada artinya. Terkadang saya merasa hidup saya masih begini-begini saja. Belum merasakan 'greget' lagi. Saat lulus sarjana, saya bekerja di luar provinsi (bahkan di luar pulau). Asli, saya sudah merasakan 'greget' saat itu. Saya merasa itu adalah keputusan paling berani yang pernah saya buat. Sebenarnya salah satu hal yang melandasi keputusan saya itu adalah hal sepele (saya malu mau bercerita disini hihi). Alasan lainnya adalah saya merasa monoton. Kehidupan saya tak jauh-jauh seputar Sidoarjo dan Surabaya. Memang saya pernah kos, tetapi setiap seminggu sekali pasti pulang. Kali ini saya mau merasakan sensasi berbeda, yang pada awalnya saya merasa akan baik-baik saja. Kenyataannya saya homesick akut. Bahkan hampir sebulan sekali lho saya pulang. Saya ingat betul saat itu saya belum berorientasi nabung, jadi ongkos pulang saya merasa nggak keberatan. Bahkan kalau bisa saya pulang tiap dua minggu sekali. Karena orang-orang rumah selalu ngomel katanya seharusnya saya menabung uang dari bekerja, saya jadi enggak enak sendiri akhirnya tiap sebulan sekali pulang. Itu pun saya pulang biasanya juga berbarengan dengan acara lain. Meskipun di Mataram saya mempunya bibi, saya memilih untuk nge-kos (biar makin greget). Saat-saat itu lah saya merasa ada 'greget' dalam hidup saya. Bagaimana saya harus memutuskan ini itu dengan cepat.
Saat itu saya juga mempunyai kesempatan untuk jalan-jalan mengeksplorasi wisata disana (meskipun baru dapat sedikit huhu) bahkan ada kesempatan sekali untuk melakukan solo travelling, yang bikin orang-orang kantor nggak percaya saya berani melakukannya. Saat-saat merantau itu lah saya menemukan arti sesungguhnya bahwa keluarga adalah segalanya. Home where the heart is. Saya jadi ingat dengan teman kos (saya seneng banget teman kos ternyata berasal dari Malang dan Yogyakarta) yang pernah berkata, 'dek, kini aku paham kenapa banyak orang rela kerja di kota mereka sendiri meskipun dengan gaji yang lebih kecil dari kerja di luar domisili. Seneng banget ya dek kalau bisa ketemu sama keluarga sepulang kerja'. Lalu saat itu kami jadi sama-sama melankolis haha (kalau ingat itu jadi ketawa sendiri deh).
Saya juga melakukan penyesuaian dengan sekitar yang saya kira saya sempat mengalami shock culture (maaf lebay). Orang-orang Sidoarjo dan Surabaya memang terkenal ngomong kasar dan keras. Tetapi saya melihat orang sana dengan bahasa mereka sendiri saya suka merasa linglung dan kadang berasa suasanya jadi tegang. Padahal memang nada ngomongnya sudah seperti itu.
Kembali lagi ke topik awal, maaf kan kalau jadi bingung bacanya.
Tunggu dulu, hidup sesuai rencana bukan berarti saya tidak mau ada perubahan dalam hidup. Rencana-rencana itulah yang berisi perubahan. Tapi dalam perjalanannya untuk mengubah nasib ataupun hidup terkadang disitulah bertemu hambatan dan rintangan.
Orang lain boleh berekspektasi apa saja kepada saya, tetapi saya tidak bisa berbuat sesuai yang mereka harapkan apalagi menjanjikan saya akan bisa menjadi apa yang mereka mau. Hal ini tidak termasuk ekspektasi orang tua. Saya teramat sedih ketika tidak bisa (belum bisa) menjadi apa yang mereka harapkan, meskipun mereka sudah membebaskan saya dalam memutuskan segala hal. Saya sadar betul diluar mereka membebaskan anaknya melakukan ini itu, tetapi harapan mereka adalah anaknya menjadi 'orang'.
Pada intinya saya sedang berusaha menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Berusaha jujur dengan diri sendiri, lebih memahami diri, dan tetap menjadi diri sendiri.
Sampai jumpaa *hoaaam*
Comments
Post a Comment